Konservasi Sumberdaya Mineral: Mengamankan Cadangan Untuk Masa Depan
Kegiatan Tambang Dalam Pengelolaan Sumberdaya Mineral| Source: Pinterest |
Indonesia memiliki potensi sumber daya mineral yang sangat besar. Sumber daya ini tidak hanya menjadi sumber devisa negara, tetapi juga menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD). Namun, dalam penggunaannya, terkadang terjadi pencemaran lingkungan dan konflik dengan pemangku adat serta budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, para pencinta lingkungan seringkali memberikan kritik yang tajam terhadap kegiatan pertambangan.
Sumberdaya Mineral Sebagai Sumber Energi
Di Indonesia, berbagai jenis sumber daya energi seperti minyak tanah, gas, dan batu bara telah dimanfaatkan. Meskipun Indonesia memiliki potensi energi lain yang sangat besar seperti energi angin, pasang surut, gelombang laut, dan biomas, belum dimanfaatkan secara maksimal. Energi matahari hanya digunakan secara terbatas untuk keperluan rumah tangga dan penerangan jalan. Indonesia, meskipun memiliki populasi yang besar, hanya memiliki persentase kecil dalam cadangan energi global, dengan minyak sekitar 0,6%, gas 1,4%, dan batu bara 3,1%.
Untuk mengatasi ketergantungan pada energi fosil, Indonesia perlu mengubah kebijakan energinya dan lebih fokus pada energi panas bumi, air, angin, gelombang laut, dan biomas, yang memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah. Energi di Indonesia tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga sebagai sumber pendapatan negara. Pada tahun 1998, sektor pertambangan dan energi menyumbang 21,4% dari total ekspor nasional, atau sekitar US$10.576,6 juta, dan 14,02% dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau sekitar Rp52.500 miliar. Kontribusi ini terbagi dalam sektor migas sebesar 9,14%, mineral non migas sebesar 3,57%, dan listrik serta gas kota sebesar 1,31%. Dengan harga saat itu, PDB pada tahun 1998 mencapai sekitar Rp989.571,1 miliar. (Sumber: UNDP dan KMNLH, 2000).
Kegiatan Pertambangan Sumberdaya Mineral
Kegiatan pertambangan umumnya melibatkan serangkaian tahap yang luas dan komprehensif, sebagaimana disebutkan oleh Reliantoro dan Simon pada tahun 2001. Tahap-tahap ini mencakup eksplorasi, ekstraksi dan penanganan limbah batuan, pengolahan bijih, serta operasional tambahan seperti penampungan material, pengolahan, dan pembuangan limbah. Selain itu, melibatkan pembangunan infrastruktur, jalan akses, dan penyediaan sumber energi, serta pembangunan kamp kerja dan pemukiman.
Meskipun kegiatan pertambangan memberikan keuntungan ekonomi, ada potensi dampak negatif terhadap ekologi, lingkungan sosial-budaya, dan perekonomian masyarakat setempat. Indonesia kaya akan sumber daya mineral yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk daratan, pesisir, pulau-pulau kecil, dan perairan laut. Sumber daya mineral ini bersifat tidak terbarukan (non-renewable) dan memiliki potensi besar untuk mendukung penerimaan devisa negara dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Dasar utama kebijakan pengelolaan mineral di Indonesia adalah Konstitusi UUD 1945, Pasal 33 ayat (3), yang menegaskan bahwa sumber daya alam, termasuk bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, menjadi hak kepemilikan negara dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Namun, implementasinya seringkali tidak memenuhi prinsip "dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat."
Pertambangan modern di Indonesia telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade, berkaitan dengan peningkatan investasi asing dan perubahan hukum seperti UU Penanaman Modal Asing dan UU Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Namun, kemajuan ini juga menghasilkan dampak negatif pada lingkungan hidup. Isu yang kompleks adalah hak masyarakat atas sumber daya mineral di wilayah masyarakat adat. Muhammad (1999) menyatakan bahwa semua bahan galian di wilayah hukum pertambangan Indonesia seharusnya dianggap sebagai karunia Tuhan dan kekayaan nasional Indonesia, yang harus dikelola oleh negara untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.
Hak penguasaan yang diberikan negara kepada pelaku pertambangan ditentukan berdasarkan jenis mineral (Suyartono, 2003; Reliantoro dan Simon, 2001; Muhammad, 1999), yaitu:
1. Golongan bahan galian yang strategis (golongan A): minyak bumi, bitu- men cair, lilin bumi, gas alam, bitumen padat, aspal, antrasit, batubara, batubara muda, uranium, radium, thorium, dan bahan-bahan galian strategis;
2. Golongan bahan galian yang vital (golongan B): besi, mangaan molibden. khrom, wolfram, vanadium, titan, bauksit, tembaga, timbal, seng, emas platina, perak, air raksa, intan, arsen, antimon, bismut, rhutenium, cerium, berillium, korundum, zirkon, kristal kwarsa, krolit, fluorspar, barit, yodi- um, brom, khlor, dan belerang; dan
3. Golongan bahan galian yang tidak termasuk A dan B (golongan C): nitrat, pospat, garam batu, asbes, talk, mika, grafit, magnesit, yarosit, leusit, tawas, oker, batu permata, batu setengah permata, pasir kwarsa, kaolin, feldsfar, gips, bentoni, batu apung, tras, obsidian, perlit, tanah diatome, tanah serap, marmer, batu tulis, batu kapur, dolomit, kalsit, granit, andesit, basal, trakhit, tanah liat, dan pasir yang tidak mengandung komponen golongan A dan B.
Bahan galian dibagi menjadi tiga golongan, dengan regulasi pengusahaan yang berbeda. Golongan A hanya dapat diusahakan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk oleh menteri, dan untuk swasta harus mendapatkan persetujuan dari menteri. Golongan B dapat diusahakan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk menteri, perusahaan negara, dan perusahaan daerah. Golongan C pengusahaanannya diatur oleh pemerintah daerah tingkat 1 yang berwenang. Pertambangan rakyat dapat diberikan kepada penduduk setempat, dengan syarat kegiatan pertambangan dilakukan dalam skala kecil atau secara gotong royong menggunakan peralatan sederhana.
Hak pengusahaan pertambangan diberikan dalam bentuk beragam, termasuk kuasa pertambangan (KP), kontrak karya (KK), kontrak karya batu bara (KKB), surat izin pertambangan daerah (SIPD), dan pertambangan rakyat (PR). Bagi investor asing yang ingin terlibat dalam pertambangan, mereka dapat menggunakan sistem KK untuk mineral dan memerlukan persetujuan KKB untuk batubara.
Kegiatan pertambangan memiliki dampak baik positif maupun negatif. Di tingkat makro, dapat memberikan kontribusi finansial kepada negara. Namun, di tingkat mikro, dampaknya terhadap pertumbuhan sosial-budaya dan ekonomi masyarakat sekitar serta dampak lingkungan harus dievaluasi. Keberhasilan berkelanjutan pertambangan sangat bergantung pada dukungan masyarakat setempat dan upaya menjaga kelestarian lingkungan.
Masalahnya semakin kompleks karena berhubungan dengan dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi. Termasuk dalam masalah ini adalah kesulitan dalam menyelaraskan kepentingan pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan masyarakat setempat.
Kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia mengungkapkan bahwa implementasi hak kepemilikan negara seringkali menjadi sumber konflik dengan masyarakat karena hak kepemilikan sering diartikan sebagai kepemilikan pemerintah. Hal ini telah menghasilkan konflik antara masyarakat adat, seperti dalam kasus konflik Amungme dengan PT. Freeport Indonesia, dan juga konflik dengan penambang emas ilegal di Pongkor, Jawa Barat.
Dampak Pertambangan Mineral Terhadap Lingkungan
Permasalahan lingkungan hidup dalam konteks pertambangan mencakup sejumlah aspek yang signifikan, sebagaimana dijelaskan oleh (US-EPA 1995, dalam Reliantoro dan Simon, 2001). Permasalahan ini mencakup:
1. Pencemaran air permukaan dan tanah: Kegiatan pertambangan seringkali menghasilkan pencemaran air permukaan dan tanah akibat limbah kimia dan logam berat yang dikeluarkan dalam proses ekstraksi dan pengolahan mineral.
2. Pencemaran tanah: Pencemaran tanah dapat terjadi karena limbah yang mengandung bahan berbahaya meresap ke dalam tanah, mengakibatkan kerusakan jangka panjang.
3. Dampak kesehatan manusia: Pencemaran lingkungan dari pertambangan dapat membahayakan kesehatan manusia melalui paparan terhadap zat-zat beracun.
4. Kerusakan flora dan fauna: Aktivitas pertambangan sering mengganggu ekosistem alamiah dan dapat menyebabkan kepunahan spesies serta kerusakan ekosistem.
5. Erosi, tanah longsor, dan banjir: Kegiatan pertambangan dapat merusak lapisan tanah, meningkatkan risiko erosi, tanah longsor, dan banjir di wilayah sekitarnya.
6. Konflik dengan norma dan adat masyarakat setempat: Pertambangan seringkali bertentangan dengan norma dan tradisi masyarakat lokal, mengakibatkan konflik sosial.
Indikasi permasalahan lingkungan hidup dalam wilayah kegiatan pertambangan dapat bervariasi, tergantung pada jenis pertambangan, skala usaha, lokasi, dan manajemen lingkungan. Beberapa contoh permasalahan lingkungan yang telah terjadi adalah:
1) Di Timika (Papua), kegiatan pertambangan menyebabkan kerusakan lahan, ekosistem mangrove yang hilang, dan konflik sosial dengan masyarakat adat.
2) Kegiatan tambang timah di Bangka Belitung mengakibatkan kerusakan lahan dan pembentukan kolam bekas tambang.
3) Tambang emas rakyat di Hampalit (Kalimantan Tengah), Minahasa (Sulawesi Utara), dan Pongkor (Jawa Barat) menyebabkan kerusakan lingkungan seperti pencemaran sungai dengan air raksa dan ketidaksetaraan sosial-ekonomi.
4) Pertambangan batu bara di Pulau Kalimantan mengakibatkan kerusakan lingkungan seperti kolam-kolam air yang terbentuk.
5) Pengeboran minyak lepas pantai di sekitar Delta Mahakam (Kalimantan Timur) mengakibatkan pencemaran minyak, kerusakan hutan mangrove, dan pencemaran tambak serta estuari.
6) Pertambangan pasir laut di Kepulauan Riau menyebabkan erosi pantai, gangguan terhadap padang lamun dan rumput laut, serta kerusakan terumbu karang.
7) Pertambangan pasir daratan dan sungai dapat mengakibatkan erosi dan tanah longsor.
8) Penambangan gas di Sidoarjo (Jawa Timur) menghasilkan lumpur panas yang merusak jalan tol, persawahan, permukiman, dan lingkungan hidup.
9) Pertambangan batu kapur dan karst di Jawa Barat dapat mengakibatkan erosi, tanah longsor, dan banjir.
10) Tambang emas di Sulawesi Utara telah terindikasi menyebabkan pencemaran di Teluk Buyat.
Diperlukan pengenalan dan pemahaman yang mendalam terhadap indikasi permasalahan lingkungan yang ada, serta penyelidikan akar masalahnya agar langkah-langkah penyelesaian yang efektif dapat diambil secepat mungkin. Prinsipnya adalah tindakan pencegahan yang lebih baik daripada penanggulangan. Ketika lahan-lahan mengalami kerusakan, tindakan restorasi fisik dan vegetatif segera perlu diimplementasikan, melibatkan penanaman jenis-jenis tumbuhan asli yang sesuai dengan lingkungan setempat. Kolam-kolam air yang terbentuk, terutama di lahan bekas pertambangan batu bara atau pasir yang sulit direhabilitasi, dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif seperti wisata air atau pemeliharaan ikan.
Dampak dari lumpur tailing yang terbawa oleh aliran sungai dapat mengakibatkan kerusakan pada ekosistem penting, seperti ekosistem rawa, dan merusak sistem perakaran ekosistem mangrove jika terlalu menutupi area tersebut. Oleh karena itu, manajemen tailing yang mempertimbangkan aspek teknis, ekologis, sosial-budaya, dan ekonomi sangat penting untuk menghindari dampak negatif.
Banyak permasalahan lingkungan dan pencemaran yang telah disebut terjadi karena aktivitas pertambangan yang seringkali mengubah lanskap alam. Banyak kegiatan ini dilakukan di atau dekat dengan kawasan lindung, menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya yang mencemari lingkungan, dan menghasilkan tailing dalam jumlah yang melebihi kapasitas lingkungan. Sebaliknya, aktivitas pertambangan di dalam Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) seharusnya dilarang sepenuhnya.
Sebagai respons terhadap tekanan masyarakat, beberapa pemerintah daerah telah menghentikan sejumlah kegiatan eksploitasi SDA yang merusak lingkungan. Sebagai contoh, penambangan pasir laut di Kepulauan Riau telah dihentikan karena dampak negatifnya terhadap ekosistem pesisir dan laut. Erosi pantai, kerusakan padang lamun, dan terumbu karang banyak disebabkan oleh penambangan pasir laut, yang juga merusak sumber mata pencaharian para nelayan.
Pertambangan seringkali memunculkan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi antara masyarakat pertambangan dan masyarakat setempat. Masyarakat pertambangan sering memiliki kondisi sosial-ekonomi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan masyarakat setempat. Selain itu, akses masyarakat setempat ke sumber daya hutan yang mereka andalkan untuk kehidupan sehari-hari menjadi terputus, mengakibatkan gangguan dalam memenuhi kebutuhan mereka seperti protein hewani, tanaman obat, dan umbi-umbian. Selain itu, hubungan spiritual mereka dengan hutan dan mata air yang dijaga dan dilestarikan juga terputus karena hutan-hutan di kawasan pertambangan menjadi sulit diakses bagi masyarakat setempat.
Manajemen Lingkungan Sebagai Solusi Mengurangi Dampak Pertambangan
Dalam rangka mengurangi dampak terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitarnya, manajemen lingkungan dalam pertambangan diperlukan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kegiatan pertambangan berlangsung secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek teknis, ekologi, sosial-budaya, dan ekonomi.
Dua kegiatan penting yang harus diperhatikan dalam manajemen lingkungan pertambangan adalah Studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yang dilakukan pada tahap perencanaan, dan Studi Environmental Risk Assessment (ERA), yang dilakukan untuk kegiatan pertambangan yang sedang berjalan. Kualitas AMDAL dan kelengkapan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) harus diperhatikan dengan serius dan diawasi oleh instansi terkait. Konsultasi publik juga penting dalam memastikan obyektivitas studi AMDAL dan ERA.
Studi ERA, meskipun belum diwajibkan di beberapa negara termasuk Indonesia, perlu menjadi kewajiban. Beberapa negara seperti Kanada telah mengadopsi studi ERA sebagai bagian dari regulasi pertambangan untuk merespons keluhan masyarakat terkait dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Kegiatan pertambangan dalam skala besar, seperti yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia, memiliki potensi besar untuk merusak lingkungan meskipun telah menerapkan teknologi pengendalian kerusakan. Oleh karena itu, perbaikan dan penyempurnaan sistem manajemen lingkungan perlu terus-menerus diperhatikan.
Selama bertahun-tahun, minyak bumi telah menjadi sumber utama energi primer dan devisa negara. Namun, ada kekhawatiran terhadap ketergantungan ekonomi pada minyak bumi, terutama karena fluktuasi harga di pasar dunia. Selain itu, ekspor neto minyak bumi Indonesia menurun seiring dengan peningkatan konsumsi dalam negeri dan kesulitan mempertahankan produksi dan cadangan minyak. Seiring dengan itu, isu-isu global tentang lingkungan semakin mendorong penggunaan gas dan energi terbarukan, yang dapat menggantikan peran minyak bumi.
Dalam buku "Good Mining Practice" oleh Suyartono (2003), diperkenalkan berbagai teknologi dan praktik yang mendukung penambangan yang benar dan berkelanjutan. Meskipun fokusnya adalah pada kepentingan pertambangan, akan lebih bijak jika "Good Mining Practice" juga mempertimbangkan sudut pandang kepentingan masyarakat setempat, kehutanan, perikanan, dan kesehatan. Tujuannya adalah mencapai titik temu yang paling sesuai dengan kepentingan pertambangan dan perlindungan lingkungan secara luas.
Langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa kegiatan pertambangan tidak hanya mengurangi kerusakan lingkungan, tetapi juga mampu memulihkan area bekas tambang, mengembalikan hutan mangrove, serta memperbaiki ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Ini akan menjadi bukti komitmen terhadap pelestarian lingkungan hidup. Dari segi teknis, ke depan harus mampu mengatasi masalah pertambangan emas rakyat, penanganan tailing, dan masalah asam tambang.
Faktor manusia dengan berbagai keputusannya sangat menentukan keberhasilan manajemen lingkungan pertambangan secara optimal. Diperlukan keputusan manajemen yang pro-konservasi alam dan lingkungan. Berikut ini disampaikan berbagai pertimbangan yang diperlukan bagi keputusan yang berpihak kepada konservasi alam dan lingkungan.
Ekologi dan environmentalis
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan kompleks dan timbal-balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. Ini memiliki peran penting dalam pengelolaan usaha pertambangan karena membantu memahami dampak dan perubahan yang terjadi pada lingkungan. Kerusakan ekosistem, seperti hutan atau lansekap, dapat berdampak serius pada erosi, tanah longsor, banjir, kemunduran kehati, serta berdampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya. Kerusakan terumbu karang dan padang lamun juga dapat mengancam kehidupan berbagai jenis biota laut.
Tantangan utama adalah apakah setiap usaha pertambangan memiliki keinginan dan kemampuan untuk menerapkan prinsip-prinsip ekologi dengan benar. Mampukah mereka mempromosikan diri sebagai pelaku yang peduli akan lingkungan? Pendekatan ini, dikenal sebagai pendekatan environmentalis, melibatkan individu-individu yang berkomitmen untuk melakukan advokasi lingkungan, melindungi masyarakat sekitar, mencegah erosi, pencemaran, mengendalikan tailing, dan merehabilitasi ekosistem yang rusak.
Konservasi Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA), terdapat tiga pendekatan utama yang dapat dibedakan: preservasionis, konservasionis, dan eksploitatif (Camp dan Daugherty, 1991). Pendekatan konservasionis memadukan elemen dari dua pendekatan yang sangat berbeda, seperti yang telah dijelaskan di atas. Pendekatan ini menekankan pentingnya pemanfaatan SDA secara bijaksana dengan tujuan mengoptimalkan keuntungan ekonomi perusahaan, sambil mempertimbangkan dampaknya terhadap ekologi, sosial-ekonomi, dan kebutuhan spiritual masyarakat setempat. Konservasionis mendorong pengelolaan SDA dengan prinsip-prinsip kelestarian yang sesuai dengan peraturan dan norma yang berlaku.
Dimensi sosial budaya
Banyak kegiatan pertambangan dilakukan di wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat atau masyarakat dengan tradisi yang kuat dalam memanfaatkan sumber daya alam. Namun, seringkali kesepakatan kompensasi atau hak penggunaan tanah oleh pemegang izin pertambangan dapat melemahkan posisi masyarakat adat. Oleh karena itu, penting untuk tetap memperhatikan dimensi sosial dan budaya masyarakat adat dengan cermat. Budaya dan kepercayaan mereka terhadap tanah leluhur dan nenek moyang mereka tidak boleh terganggu oleh kegiatan pertambangan.
Mereka harus diajak untuk berbicara, mendapat perhatian, dan penghargaan yang layak. Keinginan mereka harus diperhitungkan, dibahas, dan dihormati dalam sebuah forum musyawarah. Selain itu, aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam, terutama bagi mereka yang tinggal di sekitar hutan, harus tetap terjaga agar tidak terputus akibat kegiatan pertambangan.
Mereka memiliki keterkaitan sosial dan ekonomi yang kuat dengan lingkungan sekitarnya, seperti penggunaan tumbuhan obat, berburu, menangkap ikan, dan kegiatan budidaya. Banyak faktor, terutama pembatasan wilayah pertambangan, dapat membatasi hubungan ini. Masyarakat sering kali tidak diizinkan masuk ke wilayah hutan yang sebenarnya merupakan sumber kehidupan mereka.
Dampak kegiatan pertambangan juga dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan kebutuhan sehari-hari mereka. Selain itu, kegiatan pertambangan seringkali menyebabkan penurunan populasi binatang dan tumbuhan obat yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Ukuran feasibilitas
Hukum dasar manusia dan alam menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang tak terbatas, sementara sumber daya alam memiliki batas (prinsip limit to growth). Terutama untuk sumber daya tambang yang tidak dapat diperbarui, para pengusaha pertambangan harus melakukan perhitungan yang cermat dan menyeluruh untuk memastikan penggunaan yang berkelanjutan. Semua sumber daya alam harus dikelola dengan mempertimbangkan kepentingan saat ini dan masa depan. Oleh karena itu, ukuran kelayakan kegiatan pertambangan harus mencakup aspek-aspek ekologi, sosial-budaya, spiritual, serta aspek ekonomi dan politik.
Peran pemerintah sangat penting dalam mengawasi dan mengendalikan kegiatan pertambangan. Pemerintah harus mengeluarkan peraturan perundangan yang melarang kerusakan sumber daya alam dan lingkungannya. Semua peraturan ini harus diikuti dengan tanggung jawab. Ini mencakup larangan merusak tatanan hidrologi, mengganggu sistem biologi, menyebabkan pencemaran air, udara, dan tanah, serta merusak ekosistem penting seperti padang lamun, terumbu karang, dan hutan mangrove.
Namun, implementasi peraturan seringkali sulit dan tergantung pada kesungguhan para pengelola tambang untuk mematuhinya, dukungan dan partisipasi masyarakat yang memahami hak dan manfaat mereka, kepastian hukum, termasuk penegakan hukum, pemerintah yang memiliki kewibawaan, dan kontrol yang berkembang di masyarakat. Komunikasi efektif menjadi faktor penentu dalam kesuksesan kelima unsur ini, sehingga diperlukan sistem komunikasi yang baik.
Pengelolaan Tailing
Pengelolaan tailing merupakan aspek krusial dalam kegiatan pertambangan, dan jika tidak dilakukan dengan cermat, dapat menyebabkan dampak lingkungan yang sangat merugikan. Tailing biasanya berbentuk lumpur dengan sekitar 40-70 persen kandungan cairan. Oleh karena itu, penyimpanan, pengelolaan, dan pembuangan tailing memerlukan perencanaan dan tindakan yang hati-hati, terutama dalam wilayah yang rawan gempa. Keberhasilan dalam merancang sistem penampungan tailing sangat penting untuk mencegah dampak lingkungan yang berpotensi merusak dan mencegah protes dari kelompok-kelompok lingkungan.
Selama proses pertambangan, pengendalian polusi akibat pembuangan tailing harus memperhatikan hal-hal seperti mencegah rembesan, mengelola fraksi cair dari tailing, mencegah erosi oleh angin, dan mencegah dampak negatifnya terhadap ekosistem dan kehidupan liar. Dalam mengevaluasi alternatif pembuangan tailing, beberapa isu penting yang perlu dipertimbangkan mencakup karakteristik geokimia area yang akan digunakan sebagai tempat penimbunan tailing, potensi migrasi limbah tailing, aspek-aspek keamanan terutama dalam daerah rawan gempa atau bencana alam, konflik penggunaan lahan dengan perlindungan sumber air, pelestarian warisan budaya, pertanian, peternakan, dan ekosistem satwa liar, serta karakteristik kimia pasir, lumpur, genangan air, serta perlakuan yang diperlukan untuk pengolahan limbah tersebut. Selain itu, penting juga mempertimbangkan upaya reklamasi pasca pertambangan.
Beberapa perusahaan pertambangan, seperti PT. Freeport Indonesia dan PT. Newmont Minahasa, telah mengadopsi berbagai teknik untuk mengendalikan limbah tailing, termasuk metode dam di darat (Aijkwa Deposit Area) dan pembuangan tailing di dasar laut melalui pipa (submarine tailing placement). Setiap metode memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan pemilihan alternatif terbaik dengan risiko terendah harus didasarkan pada studi AMDAL yang cermat.
Pemberdayaan Masyarakat
Pertambangan seringkali menimbulkan konflik dengan kepentingan masyarakat setempat, yang merasa bahwa akses mereka terhadap sumber daya alam di lingkungan mereka terbatas setelah adanya kegiatan pertambangan. Namun, dalam kebijakan pengelolaan mineral di Indonesia, dasar utamanya adalah UUD 1945, Pasal 33 ayat (3), yang menyatakan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Oleh karena itu, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengelola sumber daya alam tersebut untuk kesejahteraan rakyat secara menyeluruh, bukan hanya dalam aspek ekonomi, tetapi juga aspek batiniah dan spiritual.
Dalam konteks ini, hak-hak masyarakat setempat harus diakui dan dihormati dalam proses investasi pertambangan. Hak-hak ini termasuk:
1. Hak atas tanah: Masyarakat setempat memiliki hak atas tanah mereka dan harus mendapatkan ganti rugi yang layak jika tanah mereka digunakan untuk kegiatan pertambangan.
2. Hak untuk hidup dalam habitat sosial budaya asal secara berkelanjutan: Kegiatan pertambangan seharusnya tidak mengganggu atau merusak budaya dan kehidupan sosial masyarakat setempat.
3. Hak untuk hidup dalam lingkungan yang sehat dan aman: Masyarakat setempat memiliki hak untuk hidup dalam lingkungan yang bebas dari polusi dan risiko yang merugikan kesehatan mereka.
4. Hak untuk menikmati dan memanfaatkan sumberdaya alam sekitarnya: Masyarakat setempat harus dapat terus memanfaatkan sumber daya alam di sekitar mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
5. Hak untuk melakukan kegiatan spiritual sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut: Kegiatan pertambangan seharusnya tidak mengganggu kegiatan spiritual dan kepercayaan masyarakat setempat.
Dengan mengakui dan menghormati hak-hak ini, diharapkan bahwa investasi pertambangan dapat memberikan manfaat ekonomi yang seimbang dengan kesejahteraan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat setempat serta kelestarian lingkungan
Daftar Pustaka
Camp, W.G., & Daugherty, T.B. (1991). Managing Our Natural Resources. Delmar Publishers Inc.
Muhammad, C. (1999). Reformasi Kebijakan Pertambangan Indonesia: Suatu Kebutuhan Mendesak. Prosiding Lokakarya Reformasi Hukum di Bidang Pengelolaan SDA: 165-194. ICEL, Jakarta.
Reliantoro, S., & Simon, E. (2001). Aspek Lingkungan dalam Amdal Bidang Pertambangan. Kantor Asdep Urusan Kajian Dampak Lingkungan, Jakarta.
Suyartono (2003). Good Mining Practice: Konsep tentang Pengelolaan Pertambangan yang Baik dan Benar. Penerbit Studi Nusa, Semarang.
UNDP & KMNLH (2000). Agenda 21 Sektoral: Buku 2 Seri Panduan Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan. KMNLH/UNDP, Jakarta.
0 Response to "Konservasi Sumberdaya Mineral: Mengamankan Cadangan Untuk Masa Depan"
Post a Comment