Sejarah Pura Tanah Lot: Kesucian Lelipi Poleng
Pura Tanah Lot Bali |
Pura Tanah Lot merupakan salah satu pura umum di Bali yang menjadi salah satu Rekomendasi WIsata Pura di Bali, dengan status sebagai bagian dari Sad Kahyangan Jagat dan juga Pura Dang Kahyangan. Pemanfaatan religiositas Pura Tanah Lot dapat dilihat sejak keberadaan Pura Tanah Lot. Selain itu, digunakan sebagai modal untuk jasa wisata. Ciri-ciri Pura Tanah Lot yang merupakan pura umum dapat dimaknai dari dua sisi, yaitu:
- sebagai Pura Beji Agung dari Pura Luhur Watukaru menurut filosofi Jajar Kemiri dan
- sebagai Pura Dang-Kahyangan yang erat kaitannya. Perjalanan Dang Hyang Nirartha dari Jawa ke Bali.
Pura Tanah Lot merupakan tempat suci yang tergolong pura umum dengan status Dang Kahyangan. Semua umat Hindu memiliki hak untuk berdoa kecuali dalam kasus cuntaka atau kepahitan (disebabkan oleh kematian seorang wanita atau menstruasi).
Hal ini mendorong Pura Tanah Lot untuk menyucikwan umat Hindu desa Beraban pada khususnya dan umat Hindu Balian pada umumnya. Sebagai tempat suci, khususnya masyarakat desa Beraban Pakraman selalu menjaga kesucian Pura Tanah Lot dengan membatasi/melarang masyarakat Cuntaka untuk memasuki kawasan pura.
Cuntaka berarti ketika seseorang atau sekelompok orang memiliki anggota keluarga yang meninggal, menikah atau menstruasi setelah melahirkan dan wanita tersebut mengalami keguguran (Untara & Supada, 2020). Masa dimana masyarakat Cuntaka tidak diperbolehkan memasuki pura karena meninggalnya anggota keluarga ditentukan dalam Awig-Awig, sedangkan Cuntaka yang sedang haid diperbolehkan masuk kembali ke pura sedikit demi sedikit setelah akhir siklus haid, menyucikan diri dengan gandum hitam dan niskala (jasmani dan jiwa).
Salah satu cara untuk menjaga kesucian pura adalah dengan mencegah wisatawan atau tamu yang tidak mengenakan pakaian adat masuk ke dalam pura, dan kawasan pura Tanah Lot juga penuh dengan CCTV untuk memantau kondisi pura dan wisatawan untuk memantaunya. untuk memantau keadaan Pura dan wisatawan agar tidak masuk ke Pura, selain itu di areal Pura Tanah Lot ada beberapa staf khusus (seperti intel) yang berkeliling-keliling berpakaian seperti tamu atau wisatawan untuk mengecek jika ada orang dicurigai berbuat sesuatu yang aneh di sekitar Pura dan melarang wisatawan yang hendak ingin masuk ke dalam Pura.
Staf khusus tersebut juga mengawasi adanya pesawat drone masuk di areal Pura karena tidak sembarang drone yang bisa terbang bebas di areal pura, ada aturan tertentu yang harus diikuti jika ingin menerbangkan drone di area candi. Secara struktural, nilai sakral Tanah Lot adalah. Pura merupakan bagian dalam yang paling suci dan merupakan tempat yang menyimpan nilai terbesar bagi masyarakat sekitar dan masyarakat Hindu pada umumnya. Tempat lain yang dianggap keramat adalah daerah jaba tengah, yang merupakan peralihan antara jaba samping dan bagian dalam.
Selain itu, kawasan suci ketiga adalah Jaba Sisi yang merupakan kawasan terluar pura. Semua bagian di sekitar candi masih memiliki nilai sakral, meskipun tingkat kesuciannya lebih rendah, namun tetap mempengaruhi kesucian candi secara keseluruhan.
Akibat pengaruh tersebut masyarakat selalu menjaga nilai-nilai keramat sesuai dengan batas-batas yang telah disepakati dan dianggap sebagai kawasan yang disakralkan, oleh karena itu kawasan tersebut disebut juga Karang Kekeran.
Penduduk Desa Beraban sejak lama menganggap nilai keramat karang Kekeran masih dalam batas yang disepakati dan tidak menggunakannya untuk perumahan atau kegiatan lainnya. Sejauh mana terumbu karang yang ada diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang masyarakat setempat berdasarkan tanda-tanda alam (tidak permanen) seperti sawah, jalan, sungai dan tumbuhan.
Aturan pembukaan terumbu karang ini berdasarkan informasi dari Panglingsir setempat desa Beraban Pakraman, yang menurut beberapa warga awalnya batas kawasan keramat itu menjorok ke utara dari jalan menuju Pura Pakendengan, ke arah timur batasnya adalah Yeh Sungi. Sungai, di sebelah barat Kutilan, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan laut dan membentang sejauh mata memandang.
Jarak terukur antara Pura Tanah Lot dengan batas yang telah ditentukan kurang lebih satu kilometer. Dalam batas yang ditentukan, anggota masyarakat tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat dianggap kelelahan atau kelelahan. Dalam tatanan kehidupan sosial keagamaan, masyarakat Desa Pakraman Beraban sangat meyakini kesaktian dan kesucian Pura Tanah Lot.
Meski tidak semua pangempon Pura Tanah Lot tergabung dalam jemaah Desa Beraban Pakraman, namun seluruh jemaah mengenal Pura Tanah Lot sebagai bagian dari kehidupannya. Artinya pada saat melaksanakan upacara yadnya, mereka harus terlebih dahulu meminta tirtha di pura Tanah Lot.
Jika tidak, masyarakat yang melaksanakan upacara Yadnya merasa upacara yang mereka lakukan kurang lengkap. Keyakinan semacam itu dipraktikkan sejak lama sebagai warisan kepercayaan kuno yang tidak berani dilanggar oleh siapa pun sebelumnya.
Gua tebing utara Pura Tanah Lot memiliki flora dan fauna berupa ular laut bergaris yang diidentifikasi sebagai ular Duwe. Ular tersebut dijaga oleh beberapa orang yang berpakaian lengkap dengan pakaian adat, dan pengunjung yang tertarik untuk melihat lebih dekat, bahkan jika ingin menyentuh ular Duwe, harus mengikuti aturan yang diperlukan.
Keadaan religiositas Pura Tanah Lot dijadikan atau dijadikan sebagai daya tarik utama dalam pembangunan kawasan suci Pura Tanah Lot. Keberadaan Pura Tanah Lot dengan sejarah dan religiositasnya dijadikan sebagai sumber yang memungkinkan, pemicu perkembangan wilayah yang lebih luas (sekitarnya).
Pura Tanah Lot dibersihkan secara khusus oleh umat Hindu desa Beraban dan oleh umat Hindu Bali pada umumnya. Sebagai tempat suci, warga Desa Beraban khususnya selalu menjaga kesucian Pura Tanah Lot sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh pengurus DTW Tanah Lot.
Selain aturan buatan manusia (niskala), ada juga aturan buatan alam (sekala) untuk menjaga kesucian pura Tanah Lot, yaitu. ketika air pasang tinggi dan air laut rendah. Selain aturan buatan manusia (niskala), ada juga aturan alam (sekala) untuk mendukung kesucian Pura Tanah Lot, yaitu seperti ular suci, ular suci adalah sekelompok ular yang hidup di dalamnya.
Sebuah gua di sebelah utara pantai Tanah Lot. Ular tersebut berwarna hitam putih, sehingga sering disebut lelipi poleng. Yakni keberadaan ular suci di goa seberang pura yang dijaga oleh penduduk asli Tanah Lot.
Sejarah Pura Tanah Lot
Pura Tanah Lot merupakan salah satu pura umum di Bali yang berstatus Pura Dang Kahyangan. Tidak ada bukti sejarah kapan, oleh siapa, dan atas dasar apa Pura Tanah Lot didirikan. Seperti banyak pura dan benda langit di Bali, beberapa tulisan seperti Pengusiran Dwijendra Tattwa dan buku Ketut Soeband Sejarah Pura di Bali menyatakan bahwa Pura Tanah Lot juga terkait dengan sejarah negara. perjalanan seorang pendeta bernama Maha Rsi Dang Hyang Nirartha dalam perjalanannya dari Jawa ke Bali sekitar tahun 1489 Masehi.
Dang Hyang Nirartha tidak dijelaskan telah membangun Pura Tanah Lot. Konon ia hanya beristirahat karena kelelahan dan hanya menginap satu malam. Pada malam hari, Dang Hyang Nirartha mengajarkan ajaran agama kepada warga dan menyarankan untuk membangun sebuah kuil di atas batu karang di tengah laut untuk meminta keselamatan. Keesokan harinya ia melanjutkan perjalanannya ke arah timur.
Logikanya, sumber tertulis tersebut tidak bisa dijadikan data yang kuat untuk membuktikan bahwa Pura Tanah Lot didirikan oleh Dang Hyang Nirartha. Logikanya, tidak mungkin membangun candi dalam waktu yang sangat singkat.
Menurut Buku Sejarah Nyoko (1973), sekitar tahun 1324 M, Bali memiliki seorang raja bernama Sri Tapolung atau Sri Gajah Waktra, pewaris Raja Sri Masula Masul. Raja Sri Tapolung sangat sakti, cerdas namun sombong. Kemudian, pada tahun 1343, sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit menangkap Raja Sri Tapolung.
Setelah Gajah Mada kembali ke Majapahit, pada saat itu ada seorang raja bernama Dedela Nata yang memiliki kekuasaan besar di Bali, yang tidak setuju dengan perintah Gajah Mada dan mampu mempengaruhi beberapa orang Bali untuk merubah keadaan di Bali saat itu. sangat berantakan. Atas dasar itu, kemudian pada tahun 1350 Masehi.
Gajah Mada menugaskan Dalem Ketut, salah satu putra Sri Kresna Kepakisan, untuk datang ke Bali sebagai raja. Ketika Dalem Ketut menjadi raja, keadaan di Pulau Bali dapat kembali normal dan aman. Dalem Ketut memiliki empat anak, Dalem Samprangan, Dalem Tarukan, Tytär dan Dalem Ketut Kelesir. Setelah itu, Dalem Ketut digantikan oleh putranya Dalem Samprangan. Namun, masyarakat tidak puas sehingga terjadi kekacauan dan masyarakat Bali Aga malah memberontak. Belakangan, Dalem Ketut Ngelesir bersedia menggantikannya atas permintaan rakyat.
Pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir pada tahun 1380 sampai dengan tahun 1460 dianggap sangat berhasil, antara lain dengan berdirinya pusat Kerajaan Gelgel sebagai pura pendiri, dan Pura Besakih dijadikan sebagai salah satu kahyangan sadah di seluruh Bali tengah.
Dari isi beberapa sumber yang telah dibahas di atas diketahui bahwa di Bali telah terjadi kegiatan keagamaan yang sangat konstan jauh sebelum kedatangan Dang Hyang Nirartha yaitu antara tahun 1324 sampai dengan tahun 1460. Selain itu, masyarakat sudah memiliki informasi tentang pembangunan pura. sebagai bukti sampai sekarang yaitu Pura Yayasan Gelgel dan Pura Besakih. Berkaitan dengan hal tersebut dapat diartikan bahwa Dang Hyang Nirartha datang pada tahun 1489 sebagai penyampai ilmu di bidang agama, agar masyarakat lebih mantap dalam pelaksanaan ajaran agama.
Mengenai Pura Tanah Lot, bukan tidak mungkin Dang Hyang Nirartha juga mengingatkan masyarakat sekitar Pura Tanah Lot untuk lebih memperhatikan keagungan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dan segala manifestasi-Nya dianugerahkan dengan tempat sujud dan bangunan ibadah juga, Dang Hyang Nirartha tinggal di Tanah Lot (sekarang Desa Beraban) hanya untuk satu malam.
Karena kecerdasannya dalam bidang ajaran agama dan ilmu spiritual yang tinggi, beliau dapat merasakan getaran spiritual di sekitar Tanah Lot, lebih tepatnya sebongkah batu karang di tengah laut yang luar biasa dan bermanfaat bagi masyarakat. Pada saat itu bisa dilakukan kebaktian bagi penduduk kota Beraban.
Namun, keadaannya sangat terbatas, sehingga pemkot hanya menawarkan lambang di atas batu, khusus untuk nelayan. Terakhir adalah adanya pura saat ini serta perkembangan peradaban dan budaya masyarakat setempat, dan menurut beberapa sumber Pura Tanah Lot dikaitkan dengan Dang Hyang Nirartha, dapat diartikan sebagai hal yang positif yaitu dengan tujuan untuk Memperkuat Sendi dan budaya Hindu yang ada di Bali, masyarakat termotivasi dan mengintensifkan kegiatan keagamaan mereka dan dapat melestarikan warisan nenek moyang mereka.
Eksistensi Lelipi Poleng di Pura Tanah Lot
Gambaran Wujud lelipi Poleng: Souce Ig @odon_adiputra |
Masyarakat Hindu percaya dan percaya bahwa keberadaan Pura Tanah Lot memiliki fungsi teologis (ketuhanan) yang bersifat supranatural, pura tersebut memiliki kekuatan supranatural (gaib) yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia. seperti ular suci, air suci dan keindahan alam. Ular keramat dalam hal ini adalah sekelompok ular yang hidup di sebuah goa di sebelah utara pantai Tanah Lot. Ular itu berwarna hitam putih, sehingga sering disebut "Lelipi Poleng".
Keberadaan ular sakti atau yang sering disebut Poleng Lelip. Nama Poleng yang diberikan pada ular ini adalah bahasa Bali dan berarti lorek hitam putih. Dari segi keluarga, ular ini termasuk spesies Banded Sea Krait. Lelipi poleng ini bisa tiga kali lebih mematikan dari ular kobra. lelipi Poleng dapat membunuh musuhnya dengan satu aksi.
Lelipi Poleng adalah hewan agresif yang tidak akan menyerang terlebih dahulu sampai lawan menyerangnya. Oleh karena itu, wisatawan yang datang dan ingin mengelus Lelipi Poleng diawasi oleh seorang pawang ular agar tidak tersesat. Menurut legenda, ular tersebut adalah bekas selendang Danghyang Nirartha yang dikutuk menjadi ular poleng dan bertugas menjaga alam dan kesucian Pura Tanah Lot.
Menurut legenda, jika poleng lelipi (dibungkus atau dibentangkan) terletak di tangga candi, berarti Jeroan Sampun Cinaeb (tertutup) candi, termasuk Jro Mangku, tidak boleh masuk. Jika Jro Mangku berada di bagian dalam, berarti Jro Mangku diinstruksikan untuk pergi ke bagian dalam pura. Dengan demikian para poleng Lelipi dapat menjaga kesucian Pura Tanah Lot dengan memberikan berbagai isyarat yang diandalkan masyarakat sebagai peringatan.
Jemaat khususnya pemilik Pura Tanah Lot tetap mempercayai dan mengikuti hal-hal seperti itu. Kepatuhan ini juga membantu menjaga kesucian bait suci. Lelipi Poleng umumnya jauh lebih mematikan dari ular kobra, namun anehnya Lelipi Poleng ini diam dan tidak bergerak saat disentuh pengunjung. Menurut Penjaga Gua, siapa pun yang menyentuh Lelip Poleng saat berdoa dapat mengabulkan permohonannya.
Baik itu menjalani kehidupan yang mulus, memiliki anak atau menjalani kehidupan yang sukses. Penulis sendiri menyentuh Polengs Lelip, dan Polengs Lelip tidak terlihat liar apalagi menyerang. Namun sekali lagi, yang menyentuh tidak boleh ada niat buruk dan tidak ingin ikut campur, tetapi tetap berusaha berdoa Ida Sanhyang Widhi Wasa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
0 Response to "Sejarah Pura Tanah Lot: Kesucian Lelipi Poleng"
Post a Comment