Tragedi Tanjung Priok dan Kontroversi Dua Versi Berbeda
Peristiwa Berdarah Tanjung Priok
Tragedi Tanjung Priok dan Kontroversi Dua Versi Berbeda-Tanjung Priok merupakan sebuah tempat di Jakarta berupa tempat berlabuhnya kapal-kapal. Secara perekonomian dan kehidupan masyarakat sekitar, tempat ini memang dikenal sebagai salah satu kawasan miskin dan kumuh.
Meskipun dipandang sebagai daerah pinggiran, Tanjung Priok ini menjadi tempat orang-orang desa dan pulau sekitar untuk mencari penghidupan di Jakarta bahkan tempat ini tergolong cukup sesak penduduk.
Berdasarkan data sensus kependudukan, Tanjung Priok merupakan daerah paling padat pada masa itu hingga setiap meternya dihuni oleh Sembilan orang.
Dibalik perdebatan benar atau salah data sensus tersebut, satu hal yang pasti Tanjung Priok ini menjadi daerah produktif selama 24 jam non-stop. Tak hanya sebagai lahan kerja, disini juga berdiri sebuah masjid yang kerap digunakan sebagai tempat berkumpul masyarakat.
Setiap permasalahan atau rapat warga selalu dilaksanakan di masjid tersebut. Hingga pada pertengahan 1984, beredar sebuah issu mengenai RUU Organisasi Sosial yang mengharuskan penerimaan asas tunggal.
Tentu saja hal tersebut memberikan implikasi yang sangat luas bagi masyrakat. Diantara masyarakat yang ada disana, ada seorang muballigh terkenal yang menyampaikan ceramah dan mengangkat rancangan undang-undang kontroversial tersebut sebagai topik pembahasanya.
Diluar trgedi Tanjung Priok, di Aceh juga pernah terjadi insiden Rumoh Geudong yang merupakan tragedi pelanggaran HAM berat yang bermula dari operasi militer untuk menjaga keamanan dan keutuhan negara dan malah beurjung pada tindakan represif.
Apa itu Tragedi Tanjung Priok?
Tragedi Tanjung Tanjung Priok merupakan sebuah peristiwa berdarah yang mengacu pada pelanggaran HAM untuk hidup yang dilakukan pihak TNI dalam mengantisipasi demonstran.
Ada dua vesi yang menjelaskan detail kejadian Tanjung Priok, yaitu versi lembaran putih yang bersumber dari masyarakat dan versi pemerintahan orde baru.
Kronologi Peristiwa Tanjung Priok
Pada 7 September disekitar masjid Rawabadak, Tanjung Priok, Jakarta Utara, terpasang pamflet dan poster yang dianggap bermuatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) serta mengeritik pemerintah. Saat itu datanglah dua orang petugas keamanan dan meminta masyarakat untuk mencabut pamflet yang terpasang di sekitar musala As-Sa'dah, namun rupanya ia diabaikan oleh masyarakat.
Pada 8 September 1984, datang kembali dua petugas keamanan yang langsung menutup konten tersebut dengan noda hitam. Dalam versi "Lembaran Putih" dijelaskan bahwa kedua petugas tersebut masuk ke dalam mushola tanpa melepas sepatu dan menyiram pamflet di dinding dengan air comberan serta menyiram pengumuman undangan pengajian.
Peristiwa yang terjadi di mushola As-Sa'adah ini akhirnya tersebar dan terdengar ke sejumlah petugas sipil dan militer sekitar, termasuk Amir Biki seorang tokoh eksponen 1966 yang kala itu menjadi masyarakat terkemuka di Tanjung Priok.
menanggapi kejadian yang terjadi, pada malam sabtu digelarlah sebuah cerama di mushola As-Sa'adah. Dua hari kemudian, sebagian orang (jamaah cerama) menghadang petugas yang dianggap sebagai pelaku pengkotoran mushola. Akhirnya adu mulut hingga saling dorong terjadi bhakan ada yang melempar batu. Para petugas berhasil melarikan diri dari amuk massa, tapi salah satu sepeda motor dibakar oleh warga. Sementara dalam berita versi resmi Pemerintahan Orde Baru dijelaskan bahwa petugas yang sedang bertugas diserang oleh sejumlah orang.
Setelah kejadian tersebut Komandan KODIM (Komando Distrik Militer) sekitar langsungdatang ke lokasi tesebut dan menangkap 4 orang terduga pelaku pembakaran motor. Namun penangkapan tersebut diwarnai dengan protes dari masyarakat. Setelah penangkapan tersebut, Amir Biki meminta untuk keempat orang terebut dibebaskan pada 11 September 1984 akan tetapi permintaannya ditolak.
Lalu pada 12 Septemebr 1984, berlangsung kegiatan cerama yang mengundang Amir Biki, Syarifudin Maloko, dan M. Nasir. Dalam versi "Lembaran Putih" dijelaskan bahwa tema cerama ialah cara membebaskan keempat tahanan tersebut. Sementara dalam versi Pemerintahan Orde Baru, cerama tersebut berisi hasutan kepada massa untuk membebaskan para tahanan dan memaparkan berbagai kebijakan pemerintahan yang dianggap tidak sesuai dengan aturan Islam.
Kontroversi perbedaan informasi Tanjung Priok antara vesi lemabaran putih dan pemerintahan orde baru |
Tragedi Berdarah Tanjung Priok
Dalam versi "Lembaran Putih" dijelaskan bahwa Amir Biki berjanji akan mendatangi Kantor KODIM membawa tuntuan apabila pada pukul 11 malam keempat tahanan tidak dibebaskan (setelah sebelumnya pada pukul 10 malam ia menghubungi aparat), maka umat islam akan menggelar aksi protes sosial. Berbeda dari itu, versi pemerintahan Orde Baru menuliskan bahwa Amir Biki memberikan ancaman pembunuhan dan pengrusakan.
Melihat tuntunannya tidak terpenuhi, Amir Biki beserta gerombolan massa mulai datang dengan membawa bendera merah putih dan bendera hijau bertuliskan kalimat tauhid serambi berteriak takbir.
Pemerintahan Orde Baru menuliskan jika massa berjumlah 1500 orang, mereka mendatangi kantor KODIM namun di tengah perjalanan langkah mereka terhenti karena hadangan dari tentara bersenjata,
Sementara versi "Lembaran Putih" menjelaskan pasukan TNI yang dikatakan pemerintahan orba menghadang massa bukanlah pasukan anti huru-hara, melainkan pasukan elite yang bermarkas di Tanjung Priok. Dalam versi ini juga menegaskan bahwa saat itu massa tidak dibubarkan dengan gas air mata atupun tembakan peringatan ke udara sebagai mana yang tercantum di berita versi pemerintahan Orde Baru, melainkan langsung ditembaki dengan senjata otomatis.
Total korban Peristiwa Tanjung Priok
Betrokan fisik tidak bisa lagi dihindari, massa terus menerobos maju kedepan meski ditembaki timah panas, bahkan Amir juga terkena temabakan. Kejadian brutal yang tejadi sekitar 30 menit itu diperkirankan menewaskan puluhan orang dan ratusan orang luka-luka, tak hanya itu saja bahkan 171 orang dinyatakan hilang dalam tragedi berdarah ini meskipun pemerintah Orba terus bersikeras jika total korban meninggal adalah 9 dan 53 orang terluka.
Tragedi Tanjung Priok merupakan bentuk pelanggaran HAM berat oleh aparat |
Pasca Tragedi Tanjung Priok
Pasca tragedi Tanjung Priok, Jenderal Beny Moerdani menggunakan media massa, baik cetak maupun elektronik berusaha untuk meyakinkan masyarakat agar percaya keterangan versi Pemerintah Orde Baru. Selain itu, untuk meredam situasi yang panas karena adanya perbedaan versi, PANGDAM V Jaya (Panglima Daerah Militer V Jakarta Raya) u, Mayor Jenderal Try Sutrisno datang menunjungi masjid-masjid ke beberapa pesantren di jawa Tmur dan menyerukan agar masyarakat melupkana peristiwa tersebut dan hanya memikirkan pembangunan.
0 Response to "Tragedi Tanjung Priok dan Kontroversi Dua Versi Berbeda"
Post a Comment